Tampilkan postingan dengan label Wali Songo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wali Songo. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Maret 2012

ANTARA ALI BIN ABI THALIB DAN ALI BIN MA'SHUM (TERONGGOSONGIZED)

Mbah Kyai Ali Ma’shum rahimahullah terlahir dengan kecerdasan istimewa. Pada usia remaja, beliau sudah menjadi amat ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Kefashihan beliau sulit dicari tandingannya. Pada usia 18 tahun, sewaktu mondok di Termas, Pacitan, dibawah asuhan Kyai Dimyathi rahimahullah, Kyai Ali diberi hak untuk mengajar di Masjid pondok. Suatu previles yang tidak didapatkan bahkan oleh santri-santri yang jauh lebih senior. Bukan karena Kyai Ali putera seorang kyai besar (Mbah Kyai Ma’shum, Lasem). 

Dari segi nasab, Kyai Ali masih “kalah bobot” dibanding, misalnya, Kyai Abdul Hamid (Pasuruan) yang pada waktu itu juga mondok bareng di Termas. Previles itu diberikan sebagai pengakuan atas ke’aliman Kyai Ali. Di kemudian hari, Kyai Ali Ma’shum pun diakui sebagai kyai ahli Ilmu Tafsir paling otoritatif pada masanya.

Tidak heran jika, sesudah trio pendiri Nahdlatul Ulama (Hadlratusy Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Abdul Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri) “habis” dengan wafatnya Kyai Bisri Syansuri, semua kyai yang hadir dalam Kombes NU 1981 di Kaliurang, Yogyakarta, secara aklamasi menyetujui usul Kyai Achmad Siddiq (Jember) untuk mendaulat Kyai Ali Ma’shum sebagai Rais ‘Aam menggantikan Kyai Bisri Syansuri. Semula Mbah Ali menolak. Tapi semua kyai mendesak beliau bertubi-tubi. Dari pagi hingga malam Gus Mus menunggui di kediaman beliau di Krapyak, dengan tekad tak akan beringsut sebelum beliau menyatakan kesediaan. Dengan berlinangan air mata, Mbah Ali akhirnya menyerah.


“Aku tak mau jabatan”, beliau berkata, “tapi agama melarangku menghindari tanggung jawab…”


Selanjutnya, Kyai Ali Ma’shum pun menjadi patron dari gairah pembaharuan NU. Beliau pelindung utama —kalau bukan satu-satunya— anak-anak muda yang getol dengan pembaharuan, ketika gagasan-gagasan kreatif mereka memanaskan telinga kebanyakan kyai karena dianggap terlampau berani.


Barangkali orang masih ingat, bagaimana Kyai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, suatu ketika merasa tak kuat lagi menenggang “keliaran” Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU sehingga hubungan diantara keduanya tegang luar biasa. Kyai As’ad memanggil Kyai Muhith Muzadi ke Situbondo.


“Tolonglah”, beliau berujar kepada Kyai Muhith, “sampiyan ingatkan Abdurrahman itu… dia sudah kelewatan”.


Kyai Muhith angkat tangan.


“Kok saya to, ‘Yai” jawabnya, “mestinya kan yang sepuh-sepuh seperti panjenengan yang lebih berhak…”


“Wah, saya ’dak biisa… yang bisa itu Kyai Ali Ma’sum!”


Pada kesempatan lain, Kyai As’ad mengundang kyai-kyai berkumpul di Surabaya. Mbah Kyai Ali Ma’shum berhalangan, hanya mengutus Abdurrahman, seorang santri Krapyak asal Pasuruan, membawa surat beliau untuk para kyai yang hadir di Surabaya.


“Kalau rapat kyai-kyai itu sudah selesai, serahkan surat ini kepada Kyai As’ad dan sampaikan bahwa saya minta surat ini dibacakan didepan majlis”. Demikian pesan Mbah Ali.


Rapat itu rupanya membahas Gus Dur dengan segala kembelingannya, sehingga akhirnya kyai-kyai sepakat untuk membuat petisi, menuntut Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU.


Abdurrahman Pasuruan patuh, begitu rapat hendak ditutup, ia beranikan diri menyerobot kehadapan Kyai As’ad untuk menyerahkan surat titipan Mbah Ali berikut pesan beliau. Surat yang kemudian benar-benar dibaca didepan majlis itu ternyata berisi pernyataan tegas bahwa Mbah Ali menolak pemberhentian Gus Dur dari jabatannya. Kyai As’ad tak punya pilihan.


“Kalau Kyai Ali Ma’shum ’dak setuju… saya ’dak berani…”


Keputusan rapat pun batal.


Sebagai Rais ‘Aam, walaupun hanya separuh masa bakti (1982 – 1984), Mbah Kyai Ali Ma’shum berhasil mengantarkan NU melewati masa transisi dari NU-politik ke NU-kultural. Perjalanan menuju deklarasi “Kembali ke Khittah NU 1926” pada Muktamar Situbondo (1984) berhutang sepenuhnya pada jasa kepemimpinan beliau. Itu memang bukan perjalanan yang mudah. Di tengah-tengahnya, konflik besar yang mengguncang antara kubu kyai-kyai dan kubu para politisi (Situbondo versus Cipete) harus dilalui dengan segala pahit-getirnya. Sampai-sampai seorang kyai muda berani melontarkan keluhan berbau protes ke hadapan Mbah Ali.


“Selama kepemimpinan tiga Rais ‘Aam sebelumnya, NU adem-ayem, bersatu penuh harmoni”, kata kyai muda itu, “tapi setelah panjengan jadi Rais ‘Aam… kok terjadi perpecahan begini?”.


Mbah Ali tersenyum bijak.


“Bagus sekali kamu bertanya begitu”, ujar beliau, “pertanyaanmu itu persis yang dilontarkan orang kepada Sayyidina ‘Ali”.


Maka Mbah Ali pun meriwayatkan keluhan orang kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, bahwa pada masa kepemimpinan tiga Khulafa Ar Rasyidin sebelum beliau (Saadaatina Abu Bakar, Umar ibn Al Khatthab dan ‘Utsman ibn ‘Affan radliyallahu ‘anhum) tidak terjadi perpecahan ummat seperti pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Ali.


Bagaimana jawaban Sayyidina ‘Ali?


“Pada masa beliau bertiga itu, yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”

oleh Terong Gosong
sumber : http://toyinkgondrong.blogspot.com/2011/03/antara-ali-bin-abi-thalib-dan-ali-bin.html 

Tujuh pesan Sunan Drajat

Syarifuddin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Drajat adalah seorang putera dari Sunan Ampel, sebagaimana ayahnya, maka puteranya inipun kemudian menjadi seorang penganjur pula dalam agama Islam. beliaupun ikut pula mendirikan kerajaan Islam di Demak dan menjadi penyokongnya yang setia. daerah operasinya diantaranya adalah di Jawa Timur, Sunan Drajat adalah seorang sosiawan Islam.
Berikut adalah Tujuh Pesan dari Sunan Drajat




  1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
  2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
  3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita – cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
  4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu – nafsu)
  5. Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita – cita luhur).
  6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu)
  7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Ajarkan ilmu pada orang yang tidak tau, Berilah makan kepada orang yang lapar, Berilah baju kepada orang yang tidak punya baju, serta beri perlindungan orang yang menderita)

Selasa, 28 Februari 2012

Seri Jejak Perjuangan Sunan Ampel 7

Kontroversi Sekitar Wali SongoMasalah rumit yang banyak mengundang kontroversi dari para penyebar Islam di Jawa abad ke-14 dan ke-15 adalah menyangkut istilah Wali Songo. Sebab jika istilah Wali Songo itu dikenakan pada sosok para penyebar Islam di Jawa pada abad 14 dan 15 Masehi, akan tidak pas karena jumlahnya berlebih. Sementara yang lain berusaha menjustifikasi kebenaran asumsi jumlah wali yang sembilan itu dengan menyatakan bahwa setiap anggota wali yang meninggal akan diganti oleh wali lain, sehingga jumlah mereka jika diurutkan akan lebih sembilan orang. Masalah yang tak kalah rumit, adalah menyangkut asumsi bahwa para anggota wali songo itu adalah auliya’ Allah yaitu para kekasih Allah yang memiliki karomah. Dikatakan sangat rumit, sebab dalam keyakinan umat Islam keberadaan seorang auliya’ Allah atau kekasih Allah tidak diketahui oleh manusia umum kecuali sesama auliya’.

Kesimpang-siuran dan kerumitan masalah istilah Wali Songo itu, terbukti berasal dari kerancuan penulisan hitoriografi babad yang berjarak lebih dari duaratus tahun dari peristiwa ditambah merosotnya pengetahuan Bahasa Kawi dan diperparah oleh kerangka berpikir otak-atik mathuk yang berkembang pesat pasca runtuhnya Majapahit. Menempatkan Syaikh Maulana Malik ibrahim bersama Sunan Gunung Jati, Sunan kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat dalam masa yang sejaman di sebuah organisasi dakwah, jelas mengada-ada. Sebab menurut inkripsi yang tertulis pada makam Syaikh Maulana malik ibrahim, tarikh wafatnya adalah tahun 840 Hijriyah yang sama dengan tahun 1419 Masehi, di mana saat itu Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan yang lain belum lahir.
Menurut Serat Walisana pupuh XXIX, disebutkan bahwa Walisana adalah julukan bagi wali-wali yang berkuasa pada suatu daerah. Ungkapan Serat Walisana itu, bisa ditafsirkan merujuk pada kekuasaan politik dan pemerintahan di masa itu. Sehingga wajar jika tokoh-tokoh Walisana tersebut memiliki gelar sunan, susuhunan, sinuhun, atau prabhu, yang secara tradisional merupakan gelar khusus bagi raja-raja. Dengan demikian, keberadaan Wali Sanga dapat ditafsirkan sebagai suatu tatanan kekuasaan yang terkait dengan sistem ikonografi dewasa itu, yakni penggambaran dari sembilan kekuasaan Syiwa yang disebut nawadewata atau nawasanga. Maksudnya, Paramasyima menjadi tokoh utama yang dikelilingi oleh delapan mata angin (Soekmono, 1974: 285) yang meliputi: Wisynu (utara), Sambhu (timur laut), Isywara (tenggara), Brahma (selatan), Maheswara (barat daya), Mahadewa (barat), Sangkhara (barat laut), dan Paramasyiwa (pusat). Penggunaan sistem ikonografi nawasanga itu, setidaknya terlihat pada gelar Prabhu Satmata yang digunakan Sunan Giri, padahal Satmata adalah nama lain dari Syiwa. Bahkan sebutan Ratu Giri yang disandang Sunan Giri, merujuk pula pada nama Syiwa yang masyhur yaitu Girinatha (Raja gunung) tanpa mengesampingkan bahwa keraton kakeknya dari pihak ibu terletak di Giri Kedhaton, Blambangan (sekarang Kecamatan Giri di kota Banyuwangi – pen).
Berdasar uraian di atas, jelaslah bahwa istilah wali yang digunakan Wali Songo mengacu pada penguasa politis dan pemerintahan suatu daerah, yang lazim dikenal dengan sebutan Wali Nagari. Namun kekurang-fahaman terhadap istilah Wali Nagari, yang merupakan gagasan asimilatif antara istilah Bahasa Arab dan istilah Bahasa Kawi itulah, yang diduga menimbulkan asumsi untuk memaknai kata ‘wali’ dalam Wali Nagari itu dengan makna auliya’ yaitu kekasih Allah. Kemudian berkembanglah kisah-kisah fantastis tentang kekeramatan wali-wali yang melampaui mukjizat nabi-nabi. Asumsi yang tidak tepat itu pada gilirannya menempatkan keberadaan para raja muslim di abad 14 dan 15, hanya sebagai para ulama pengasuh pesantren dan bukannya penguasa suatu daerah. Bahkan yang belakangan berkembang di sinetron-sinetron, para anggota Wali Songo penyebar Islam itu digambarkan sebagai sekedar pendekar-pendekar muslim tukang berkelahi.
Keberadaan Wali Songo, tampaknya tidak terlepas dari usaha-usaha para penyebar Islam untuk mengubah tatanan sosial dan politik di era Majapahit yang menganut ajaran dewaraja agar menjadi tatanan yang Islami. Sebagaimana telah terurai di muka (dalam pembahasan awal buku ini –pen), bahwa seorang raja di dalam keyakinan masyarkat Jawa Kuno diyakini sebagai titisan dewa, sehingga saat sang raja meninggal dunia akan dipuja sebagai dewa oleh keturunan dan masyarakatnya. Tak berbeda dengan raja, para kepala wisaya (daerah setingkat kecamatan) yang disebut buyut dan para kepala desa yang disebut rama, jika meninggal akan dipuja oleh keturunan dan masyaraktnya. Makam-makam kepala wisaya dan kepala desa itulah yang disebut kabuyutan dan punden karaman. Tatanan ini adalah hasil asimilasi antara anasir pemujaan terhadap arwah leluhur dari ajaran Kapitayan dengan anasir Hindu dari bhagavatisme yang dianut oleh para pemuja Wisynu.
Di masa akhir Majapahit yang ditandai menguatnya pengaruh adipati-adipati muslim di pesisir utara jawa, terdapat perubahan-perubahan dalam menyebut para penguasa yang di dalamnya jelas terdapat maksud pengislaman terhadap anasir-anasir kepercayaan dewaraja. Sebutan ratu, adipati, narapati, prabhu, dan susuhunan yang semula dianggap berkaitan dengan titisan dewa, telah direduksi menjadi sekedar sahabat-sahabat Allah (Wali Allah). Raja bukan lagi dianggap titisan dan penjelmaan tuhan, tetapi hanya sahabat-sahabat Tuhan (Allah). Jabatan kepala wisaya yang semula adalah buyut, diganti menjadi Gede atau Ageng atau Umbul. Berbeda dengan para buyut yang jika meninggal dipuja di kabuyutan, para Ki Gede dan Ki Ageng atau Umbul, jika meninggal tidak dipuja. Begitu juga jabatan kepala desa yang disebut rama, diubah menjadi lurah yang jika meninggal tidak lagi dipuja sebagai punden.
Dengan uraian ini, jelaslah bahwa sebutan Susuhunan tidaklah dimaksudkan sebagai gelar formal bagi para Wali Allah, karena sepanjang sejarah Islam belum pernah ada seorang Wali Allah mendapat gelar formal yang bisa dikenal masyarakat umum untuk menunjukkan kedudukannya sebagai kekasih Allah. Keberadaan seorang Wali Allah, justru disembunyikan dari pengetahuan umum. Dengan demikian, dalam konteks makna Wali Songo dan sebutan susuhunan itu, sesungguhnya dapat dilihat jejak-jejak suatu strategi dakwah Islam untuk mengubah kepercayaan dewaraja menjadi tauhid Islam. Dalam pengertian bahwa para adipati atau raja itu bukanlah titisan Tuhan, tetapi sekedar sahabat-sahabat Tuhan. Itu tidak berarti keberadaan Sunan Ampel sebagai Wali Allah dinafikan oleh pandangan ini, sebab kedudukan Wali Allah di dalam keyakinan Islam tidak dibatasi oleh kedudukan orang sebagai raja atau tidak. Kewalian seseorang adalah rahasia Ilahi.

Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M., Surabaya: Diantama, 2004.


Perjuangan Sunan Gunung Jati

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.

Sedang
Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.

Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.

Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra
yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakanpemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid. Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang.
Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.

Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
`Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Demikianlah riwayat perjuangan Sunan Gunungjati
.


Baca juga tentang Cara melihat karakter orang dari tanda tanganCara Melihat sifat orang dari tulisan tangan


Jumat, 24 Februari 2012

Wali Songo Keturunan Nabi SAW

Bermula silsilah wali songo ditemukan oleh sayid Ali bin Ja’far Assegaf pada seorang keturunan bangsawan Palembang . Dalam silsilah tersebut tercatat tuan Fakih Jalaluddin yang dimakamkan di Talang Sura pada tanggal 20 Jumadil Awal 1161 hijriyah, tinggal di istana kerajaan Sultan Muhammad Mansur mengajar ilmu ushuluddin dan alquran. Dalam silsilah tersebut tercatat nasab seorang Alawiyin bernama sayid Jamaluddin Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath, yang mempunyai tujuh anak laki. Di samping itu tercatat pula nasab keturunan raja-raja Palembang yang bergelar pangeran dan raden, nasab Muhammad Ainul Yaqin yang bergelar Sunan Giri.


Mendengar adanya silsilah wali songo tersebut, Dr. Gobbe dari Voor Inlandsche Zaken mendesak akan mengambilnya, tetapi sayid Ali bin Ja’far Assegaf mengelak dan mengatakan bahwa silsilah tersebut tidak ada. Sebelum wafat, beliau berpesan agar apapun yang berkenaan dengan silsilah dan hasil sensus Alawiyin yang telah dilaksanakannya agar dijaga dengan baik.

Sebagaimana telah diketahui bahwa keturunan Alawiyin yang berada di Indonesia berasal dari Hadramaut. Imam Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath dijuluki Ammu al-Faqih, dikaruniai 4 orang anak lelaki, masing-masing bernama Abdul Malik, Abdullah, Abdurahman dan Ahmad. Dari Abdul Malik inilah, yang keturunannya dikenal dengan al-Azhamat Khan, menurunkan leluhur wali songo di Indonesia .

Abdul Malik bin Alwi lahir di kota Qasam pada tahun 574 hijriyah. Ia meninggalkan Hadramaut pergi ke India bersama para sayid Alawiyin. Di India ia bermukim di Nashrabad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki, diantaranya sayid Amir Khan Abdullah. Sayid Amir Khan mempunyai anak bernama Amir al-Mu’azhom Syah Maulana Ahmad. Beliau dikarunia anak bernama Jamaluddin Husein yang datang ke pulau Jawa dari Kamboja., Jamaluddin Husein hijrah ke Jawa bersama ketiga saudaranya yaitu syarif Qamaruddin, syarif Majduddin dan syarif Tsana’uddin pada akhir abad ke 7 hijriyah.

Di Kamboja Jamaluddin Husein menikahi anak seorang raja di negeri itu dan mempunyai anak yang diantaranya bernama Ali Nurul Alam dan Ibrahim al-Ghazi (Ibrahim Asmoro). Menurut sayid Ahmad bin Abdullah Aseggaf dalam kitabnya Chidmah al-Asyirah, Ali Nurul Alam dikarunia anak bernama Abdullah. Dari Abdullah inilah dikarunia anak bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sedangkan Ibrahim al-Ghazi bersama ayahnya meninggalkan negerinya ke tanah Aceh. Di Aceh beliau menggantikan ayahnya dalam kegiatan menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Sedangkan ayahnya Jamaluddin Husein meneruskan perjalanan ke tanah Jawa. Mereka mendarat di pesisir pantai Semarang , kemudian melalui jalan darat tiba di Pajajaran. Saat itu adalah akhir masa raja-raja Pajajaran yang kekuasaannya berpindah ke tangan Majapahit. Dari Pajaran Jamaluddin Husein melanjutkan perjalanannya ke Jawa Timur dan tiba di Surabaya . Ketika itu Surabaya masih merupakan sebuah desa kecil, tidak banyak penduduknya, dikelilingi oleh hutan dan sungai. Pada masa itu desa tersebut dikenal dengan nama Ampel. Di desa itulah sayid Jamaluddin Husein menetap. Setelah satu setengah tahun di Ampel, bersama para pengikutnya beliau melakukan perjalanan ke Sulawesi dan setibanya di tanah Bugis, beliau wafat di kota Wajo.

Ibrahim al-Ghazi yang berada di Aceh sering melakukan perjalanan ke negeri Kamboja dan menikah di sana . Beliau dikarunia dua orang anak yaitu Maulana Ishaq dan Maulana Rahmatullah (Sunan Ampel). Maulana Ishaq kemudian menyebarkan agama Islam di tanah Malaka, Penang dan Riau. Sayid Maulana Ishaq kemudian pindah ke Banyuwangi. Beliau dinikahkan oleh salah seorang puteri raja Blambangan. Dari perkawinannya Maulana Ishaq mempunyai seorang anak bernama sayid Ainul Yakin (Sunan Giri/Raden Paku). Di antara keturunan beliau adalah KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Sunan Ampel dikarunia anak bernama Maulana Hasyim (Sunan Drajat), Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Maulana Ja’far Shadiq (sunan Kudus) dan Ahmad Hisan (Sunan Lamongan)

Adapun wali songo yang lain seperti Maulana Malik Ibrahim, Sunan Kali Jaga dan Sunan Muria, menurut beberapa pendapat bukanlah keturunan Muhammad Shahib Mirbath. Menurut beberapa pendapat dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim keturunan dari Zainal Abidin bin Husein. Pendapat lain mengatakan beliau dari kota Kasyan , Persia . Begitu pula dengan silsilah Sunan Kali Jaga terdapat perbedaan di kalangan para pakar sejarah wali songo. Sebagian mengatakan, bahwa ia seorang dari suku Jawa asli. Sebagain pakar lain mengatakan bahwa ia bernama Zainal Abidin putra Sunan Ampel. Sama halnya dengan Sunan Muria, ada yang mengatakan ia anak dari Sunan Kali Jaga dan penfapat lain mengatakan bahwa ia berasal dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. (Habib Idrus Alwi Al-Mansyur)

sumber : http://aswaja.com