Add caption |
Istilah Burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freudenberger, seorang ahli psikologi klinis yang terbiasa menangani remaja bemasalah pada lembaga layanan sosial di New York. Burnout sendiri menunjukkan sindrome dimana seseorang merasa lelah, kecewa dan frustasi sehingga tidak tertarik lagi pada pekerjaan yang digelutinya. Sindrome semacam ini biasanya dialami oleh mereka yang bekerja pada pelayanan sosial seperti pekerja kesehatan, guru, polisi dan pekerja administrasi.
Menurut Kleiber Ensmann dalam bibliografi terbarunya, dari sekian banyak orang yang menderita sindrome ini sebanyak 32 persennya adalah pendidik yang kemudian kita kenal dengan istilah Teacher Burnout. Adapun untuk konteks Indonesia, ada banyak faktor yang menyebabkan para guru yang mengalami sindrome ini. Gaji yang kurang, siswa yang sulit diatur, orang tua yang tidak bisa diajak bekerja sama sampai dengan manajemen sekolah yang dianggap otoriter disinyalir sebagai penyebabnya.
Akibatnya sekolah tidak lagi dinilai sebagai tempat kerja yang menyenangkan. Sering datang terlambat, malas-malasan dalam bekerja bahkan sering meninggalkan sekolah sebelum waktunya adalah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik yang terkena sindrome Teacher Burnout. Bahkan, saking tidak adanya motivasi mereka untuk bekerja, pengajaran pun mereka lakukan dengan metode CBSA alias Cul Budak Sina Anteng. Celakanya lagi, sindrome ini ternyata dapat “menular” dengan mudah pada guru-guru lainnya yang pada akhirnya membuat iklim kerja menjadi tidak sehat. Akhirnya siswalah yang menjadi korban dari buruknya kualitas pembelajaran yang “dipersembahkan” oleh guru-guru semacam ini.
Untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, pengelola sekolah dalam hal ini manajemen sekolah maupun yayasan sejatinya mampu menjalin komunikasi yang baik dengan para guru. Pengelola lembaga dituntut untuk senantiasa peka terhadap kebutuhan maupun permasalahan terkait pembelajaran yang dimiliki oleh para guru seperti penyediaan sarana dan media pembelajaran. Selain itu tingkat kesejahteraan guru pun hendaknya menjadi perhatian pengelola karena dengan meningkatnya kesejahteraan guru akan mampu meningkatkan etos kerja mereka meski hal ini bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Disamping itu pembinaan profesional dan spiritual pun wajib dilakukan oleh pengelola selama guru-guru tersebut bekerja dilembaga yang bersangkutan.
Setelah pengelola lembaga melaksanakan semua kewajibannya, tiba saatnya guru sendirilah yang harus berusaha menjauhi sindrome Teacher Burnout ini. Selalu meningkatkan wawasan dengan cara banyak membaca buku maupun mengikuti seminar-seminar, membuat blog untuk kemudian berbagi ide dengan yang lain sampai dengan mendatangi pengajian untuk menjaga keikhlasannya dalam mengajar diharapkan mampu untuk menjaga semangatnya dalam bekerja. Bahkan refreshing pun sangat disarankan bagi mereka yang memang memiliki aktivitas dengan tingkat stress yang cukup tinggi. Dalam hal ini kegiatan mancing bareng bisa menjadi pilihan.
Dengan tetap menjaga semangat para pendidik dalam bekerja, kita berharap hanya pembelajaran berkualitaslah yang mereka persembahkan bagi anak-anak kita sehingga generasi emas seperti yang dicita-citakan dapat terwujud.
Sumber : kompasiana.com
Menurut Kleiber Ensmann dalam bibliografi terbarunya, dari sekian banyak orang yang menderita sindrome ini sebanyak 32 persennya adalah pendidik yang kemudian kita kenal dengan istilah Teacher Burnout. Adapun untuk konteks Indonesia, ada banyak faktor yang menyebabkan para guru yang mengalami sindrome ini. Gaji yang kurang, siswa yang sulit diatur, orang tua yang tidak bisa diajak bekerja sama sampai dengan manajemen sekolah yang dianggap otoriter disinyalir sebagai penyebabnya.
Akibatnya sekolah tidak lagi dinilai sebagai tempat kerja yang menyenangkan. Sering datang terlambat, malas-malasan dalam bekerja bahkan sering meninggalkan sekolah sebelum waktunya adalah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik yang terkena sindrome Teacher Burnout. Bahkan, saking tidak adanya motivasi mereka untuk bekerja, pengajaran pun mereka lakukan dengan metode CBSA alias Cul Budak Sina Anteng. Celakanya lagi, sindrome ini ternyata dapat “menular” dengan mudah pada guru-guru lainnya yang pada akhirnya membuat iklim kerja menjadi tidak sehat. Akhirnya siswalah yang menjadi korban dari buruknya kualitas pembelajaran yang “dipersembahkan” oleh guru-guru semacam ini.
Untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, pengelola sekolah dalam hal ini manajemen sekolah maupun yayasan sejatinya mampu menjalin komunikasi yang baik dengan para guru. Pengelola lembaga dituntut untuk senantiasa peka terhadap kebutuhan maupun permasalahan terkait pembelajaran yang dimiliki oleh para guru seperti penyediaan sarana dan media pembelajaran. Selain itu tingkat kesejahteraan guru pun hendaknya menjadi perhatian pengelola karena dengan meningkatnya kesejahteraan guru akan mampu meningkatkan etos kerja mereka meski hal ini bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Disamping itu pembinaan profesional dan spiritual pun wajib dilakukan oleh pengelola selama guru-guru tersebut bekerja dilembaga yang bersangkutan.
Setelah pengelola lembaga melaksanakan semua kewajibannya, tiba saatnya guru sendirilah yang harus berusaha menjauhi sindrome Teacher Burnout ini. Selalu meningkatkan wawasan dengan cara banyak membaca buku maupun mengikuti seminar-seminar, membuat blog untuk kemudian berbagi ide dengan yang lain sampai dengan mendatangi pengajian untuk menjaga keikhlasannya dalam mengajar diharapkan mampu untuk menjaga semangatnya dalam bekerja. Bahkan refreshing pun sangat disarankan bagi mereka yang memang memiliki aktivitas dengan tingkat stress yang cukup tinggi. Dalam hal ini kegiatan mancing bareng bisa menjadi pilihan.
Dengan tetap menjaga semangat para pendidik dalam bekerja, kita berharap hanya pembelajaran berkualitaslah yang mereka persembahkan bagi anak-anak kita sehingga generasi emas seperti yang dicita-citakan dapat terwujud.
Sumber : kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar